Hukum Progresif dimulai dari suatu asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum Progresif menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek, dan menolak berbagai paham atau aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interressenjurisprudenz di Jerman, teori hukum alam dan critical legal studies. Hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal. Hukum Progresif menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan.
Tujuan dari hukum Progresif adalah untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.
Secara lebih spesifik hukum Progresif antara lain bisa disebut sebagai "hukum yang pro-rakyat" dan "hukum yang pro-keadilan". Pernyataan dan pemastian tersebut berlanjut sampai kepada penentuan tentang teorisasinya serta bagaimana hukum akan bekerja dan dijalankan.
Gagasan hukum Progresif muncul karena kepribadian terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat, termasuk pengamat internasional sudah mengutarakannya dalam berbagai ungkapan yang negatif, seperti sistem hukum di Indonesia termasuk yang terburuk di dunia. Rakyat pun berpendapat demikian, namun mereka tidak mengutarakannya sebagai suatu tuturan yang jelas, melainkan melalui pengalaman konkret mereka dengan hukum sehari-hari, seperti halnya kelemahan mereka berhadapan dengan hukum dan keunggulan orang kuat yang cenderung lolos dari hukum.
Kepercayaan kepada hukum makin menurun yang disebabkan oleh kinerja buruk hukum itu sendiri. Sejak tahun 70-an istilah "mafia pengadilan" sudah memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Pada masa Orde Baru hukum sudah makin bergeser menjadi alat politik untuk mempertahankan kekuasan waktu itu. Dengan demikian, hukum bukan lagi "law as a tool of social engineering" secara positif terjadi, namun melainkan "dark engineering"
Masuk ke Era Reformasi sejak tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998, bangsa Indonesia belum berhasil mengangkat hukum sampai kepada taraf mendekati keadaan ideal, tetapi justru malah makin menimbulkan kekecewaan, khususnya yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi.
No comments:
Post a Comment