Sejak hukum membuat tradisi untuk dituliskan (written law), maka pembacaan terhadap teks hukum menjadi masalah yang penting. Sejak pembacaan terhadap teks menjadi penting, maka penafsiran terhadap teks hukum tak dapat dihindarkan. Bahkan tidak berlebih apabila dikatakan, penafsiran hukum merupakan jantung hukum, Hampir tidak mungkin hukum bisa dijalankan tanpa membuka pintu bagi penafsiran. Penafsiran hukum merupakan aktifitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan, sejak hukum berbentuk tertulis. Diajukan sebuah adagium "membaca hukum adalah menafsirkan hukum".
Tuntutan terhadap hukum modern, seperti dikatakan oleh Unger, yaitu untuk menjadi positif dan publik, melahirkan tradisi hukum yang dituliskan atau tertulis. Tentunya cukup susah dibayangkan, bagaimana hukum bisa menjadi bersifat publik kalau hukum tidak bisa ditentukan secara konkret terlebih dahulu. Agar hukum bisa diumumkan kepada rakyat, maka hukum itu harus ada terlebih dahulu. Dalam tradisi modern sekarang, umumnya hukum memang dituliskan dan kemudian diumumkan kepada publik, supaya bisa dibaca oleh rakyat dan rakyat mengetahui apa yang menjadi hukum dalam masyarakat.
Sebagai contoh yaitu pasal Undang-Undang tentang lembaga "peninjauan kembali". Dalam pasal bersangkutan ditulis, PK hanya boleh diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Dalam bab penjelasan ditulis, ketentuan tersebut bersifat limitatif. Tetapi dalam sejarah Indonesia, jaksa pernah mengajukan PK dan diterima oleh pengadilan. Artinya, jaksa (dan pengadilan) telah memberi makna sendiri terhadap ketentuan tersebut. Buktinya, pengacara T. Mulya Lubis berpendapat, diterimanya PK yang diajukan oleh jaksa, telah terjadi tragedi dalam hukum di Indonesia. Hal tersebut berarti, lubis telah memberi makna yang berbeda terhadap PK dibanding kejaksaan dan pengadilan. Disini kita lihat beberapa pasal yang sama telah diberi makna yang berbeda-beda.
Penafsiran merupakan fungsi dari hukum tertulis yang membuat rumusan-rumusan. Pembuatan dan penafsiran merupakan dua sisi dari barang yang sama, yaitu "hukum". Teks hukum tidak lain adalah suatu bentuk rumusan, suatu konseptulisasi dari sesuatu yang ada dan terjadi di alam. Pencurian adalah suatu kejadian dalam alam yang kemudian dirumuskan dalam teks hukum. Setiap perumusan adalah penegasan atau pencitraan tentang suatu hal. Adanya rumusan tertulis oleh hukum tentang pencurian, maka orang menjadi tahu perbuatan mana yang bukan pencurian. Merumuskan dan membuat konsep adalah pekerjaan manusia yang sampai sekarang belum dapat diserahkan kepada mesin.
Mutatis Mutandis, apa yang dikatakan oleh Stamford mengenai sistem hukum, dapat juga diterapkan pada waktu membahas cacat perumusan hukum. Berdasarkan cara berpikir seperti itu maka perdebatan pun ditutup sudah, semata-mata "apa yang tidak benar" itu menjadi "dianggap benar", Legitimasi seperti tersebut memang diperlukan agar hukum segera bisa dijalankan, jadi suati alasan pragmatis.
Dilema antara "kepastian" dan "kemerdekaan" juga melatar belakangi wacana penafsiran. Kendati menerima penafsiran, aliran yang mengunggulkan kepastian mengkhendaki agar lingkaran peraturan itu tidak diterobos keluar. Metode-metode penafsiran yang kemudian diciptakan, sepeti tata bahasa, sejarah dan sistematis, tetap harus berlangsung dalam batas lingkaran peraturan. Aliran tersebut menerima konsekuensi disebut mengabadikan ketidakadilan apabila suatu peraturan dinilai tidak adil. Maka demi kepastian hukum, kepastian dari ketidakadilan atau kepastian yang tidak adil pun diterima sebagai resiko atau ongkos yang harus dibayar. Disisi lain, kemerdekaan tidak bisa menerima peraturan yang dirasa tidak adil dan karena itu memilih melakukan pembebasan dan keluar dari lingkaran peraturan yang ada. Inilah esensi dari aliran realisme.
Penafsiran Progresif mencakup semua aspek sebagaimana diuraikan diatas. Penafsiran adalah pemberian makna terhadap teks peraturan dan karena itu tidak boleh berhenti pada pembacaan harafiah saja. Dengan cara seperti tersebut hukum menjadi Progresif karena bisa melayani masyarakatnya. Melayani masyarakat berarti melayani kehidupan masa kini dan oleh sebab itu Progresif.
Penafsiran Progresif memahami proses hukum sebagai proses pembebasan terhadap suatu konsep yang kuno yang tidak dapat lagi dipakai untuk melayani kehidupan masa kini.
Mengapa menggagas penafsiran hukum yang progrsif ?
Salah satu ikhwal penting adalah pergulatan antara pikiran antara analitis dan realis atau sosiologis seperti diwakili oleh analytical jurisprudence dan legal realism. Yang pertama selalu melihat kedalam bingkai peraturan dan tidak keluar dari lingkaran tersebut. Berdasarkan pikiran hukum tersebut, maka penafsiran hukum menjadi hal yang ditabukan. Tidak ada dan tidak boleh ada penfsiran, yang ada ialah penerapan hukum, undang-undang. Penafsiran ada di tangan legislatif, oleh karena dalam pembuatan hukum sudah termasuk penafsirannya. Kepastian sangat diunggulkan, bahkan sampai titik mutlak dan kepastian diperoleh dengan membaca undang-undang.
Di pihak lain, pikiran realis, sosiologis bebas berpendapat, hukum merupakan kerangka yang abstrak, sedang setiap perkara yang dihadapkan kepadanya adalah unik. Kalau berpegangan pada kata undang-undang, maka sifat unik dari perkara akan hilang dan dikesampingkan. Maka setiap pembuatan keputusan hukum adalah aktivitas yang kreatif, demi melayani keunikan tersebut.
Hukum Progresif dan penafsiran progresif berpegangan pada paradigma "hukum untuk manusia", sedang analitical jurisprudence mengikuti paradigma "manusia untuk hukum". Manusia merupakan simbol bagi bagi kenyataan dan dinamika kehidupan. Hukum memandu dan melayani masyarakat. Dengan demikian, diperlukan keseimbangan antara "statika dan dinamika" antara "peraturan" dan :jalan yang terbuka".
Hukum, pengadilan, tidak dipersepsikan sebagai mesin dan robot, tetapi sebagai lembaga yang kreatif memandu dan melayani masyarakat. Tugas tersebut dapat dilaksanakan apabila hukum diberi kebebasan untuk memberi penafsiran. Menafsirkan adalah bagian dari tugas memandu dan melayani tersebut.
Hukum Progresif berbagi pendapat dengan pikiran-pikiran yang pernah ada dalam sejarah hukum, seperti historis (Savigny), realis (Amerika, Eropa), sosiologis (Pound, Ehrlich, Black), responsif (Nonet dan Selznick).
Semua alam pikiran hukum tersebut pada dasarnya menerima penafsiran hukum sebagai jembatan antara undang-undang yang statis, kaku, dan masa kini maupun masa depan. Hukum akan dicari dan dipercaya masyarakat, apabila hukum mampu menjalankan tugas memandu dan melayani masyarakatnya. Unutuk itu, hukum tidak dapat bergayut ke belakang melainkan ke masa kini dan masa depan. Itulah hakikat hukum Progresif dan penafsiran hukum yang Progresif.
No comments:
Post a Comment