Konsep perjanjian seperti itu juga terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama "eye for eye".
Kemudian konsep ini berkembang untuk perbuatan-perbuatan yang ditujukan kepada raja, seperti pengkhianatan, sedangkan perbuatan-perbuatan yang ditujukan kepada individu masih menjadi urusan pribadimasing-masing. Seiring berjalannya waktu, maka kejahatan kemudian menjadi urusan raja (sekarang negara), yaitu dengan mulai berkembangnya dengan apa yang disebut Parent Parties, Konsekuensi selanjutnya dengan dioper tugas ini oleh negara, maka apa yang sering kita disebut sebagai "main hakim sendiri" pun dilarang.
Pada Abad 18 munculah para penulis yang kemudian disebut sebagai Mazhab Classic, sebagai reaksi atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan serta kesewenang-wenangan penguasa pada waktu ancient regime. Mazhab Classic ini mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar Undang-undang. Ajaran yang terpenting adalah doktrin "nullum crimen sine lege" yang artinya yaitu tidak ada kejahatan apabila Undang-undang tidak menyatakan perbuatan itu sebagai perbuatan yang dilarang. Takut terhadap timbulnya ketidakpastian dan timbulnya kesewenang-wenangan dari penguasa (hakim), maka mazhab ini berpendapat, hakim hanyalah sebagai mulut/corong Undang-undang saja (legisme). Lama kelamaan timbul ketidakpuasan terhadap ajaran mahzab ini, dan pada akhir abad 18 munculnya pandangan baru yang lebih menitikberatkan pada pelakunya dalam studi terhadap kejahatan. Mahzab ini muncul ini muncul diantara para penstudi kejahatan di Italia yang kemudian disebut sebagai Mazhab Positif. Mazhab ini dipelopori oleh C.Lambroso seorang ahli ilmu kedokteran kehakiman. Aliran ini berusaha untuk mengatasi relativitas dari hukum pidana dengan mengajukan konsep kejahatan yang non-hukum, serta mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar hukum alam (natural law).
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep kejahatan yang non-hukum tersebut banyak menguasai para sarjana kriminologi di Amerika, terutama sampai pertengahan abad ke-20. Beberapa kritik yang diajukan terhadap mazhab tersebut antara lain oleh Ray Jeffery yang meyatakan bahwa dalam mempelajari kejahatan harus dipelajari dalam kerangka hukum pidana, sebab dari hukum pidana kita dapat mengetahui dengan pasti, mengetahui kondisi yang bagaimanakah suatu tingkah laku yang dikatakan dipandang sebagai kejahatan dan bagaimana peraturan Perundang-undangan berinteraksi dengan sistem norma yang lain. George C. Vold mengatakan dalam mempelajari kejahatan terdapat persoalan rangkap, artinya kejahatan selalu menunjuk kepada perbuatan manusia dan juga batasan-batasan atau pandangan ,masyarakat tentang apa yang baik dan apa yang tidak buruk, tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang, yang semuannya itu terdapat dalam Undang-undang, kebiasaan (custom) dan adat istiadat.
E.Durkheim, seorang pakar sosiologi menyatakan kejahatan bukan saja normal, dalam arti tidak ada masyarakat tanpa kejahatan, bahkan beliau menambahkan kejahatan merupakan sesuatu yang diperlukan, sebab ciri masyarakat adalah dinamis, dan perbuatan yang menggerakan masyarakat tersebut pada mulanya seringkali disebut sebagai kejahatan, misalnya dengan dijatuhkannya hukuman mati terhadap Socrates dan Galileo-galilea atas buah pikirnya.
Perlu ditegaskan bahwa kejahatan bukanlah fenomena alamiah, melainkan fenomena sosial dan historis, sebab tindakan menjadi kejahatan haruslah dikenal, diberi cap dan ditanggapi sebagai kejahatan, disana harus ada masyarakat yang norma aturannya dan hukumnya dilanggar, disamping adanya lembaga yang tugasnya menegakkan norma-norma dan menghukum pelanggarnya.
No comments:
Post a Comment