Sabtu, 02 Februari 2013
KEJAHATAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN NORMA-NORMA
Bagaimanapun juga kejahatan dalam arti hukum adalah yaitu perbuatan manusia yang dapat dipidana oleh hukum pidana. Tetapi kejahatan bukan semata-mata merupakan batasan Undang-undang, artinya ada perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat dipandang sebagai jahat, tetapi oleh Undang-undang tidak menyaakan sebagai kejahatan (tidak dinyatakan sebagai tidak pidana), dan begitu pula sebaliknya.
Dalam hukum pidana orang seringkali membedakan antara Delik hukum (rechtsdelicten atau mala per se), khususnya tindak pidana yang disebut "kejahatan" (buku ke II KUHP) dan Delik Undang-undang (wetsdelicten tau mala probibita) yang berupa "pelanggaran" (buku ke III KUHP) mengenai perbedaan antara mala per se dengan mala probibita dewasa ini banyak dipertanyakan orang, yaitu apakah semua tindak pidana itu sebenarnya adalah merupakan mala probibita, artinya perbuatan-perbuatan tertentu merupakan kejahatan, oleh karena perbuatan tersebut oleh Undang-undang ditunjuk atau dijadikan kejahatan (tindak pidana).
Oleh karena mengenai pandangan orang mengenai hubungan antara Undang-undang dengan organisasi sosial mempunyai pengaruh yang penting dlam penyelidikan kriminologi selanjutnya, maka perlu diketahui pandangan-pandangan yang ada mengenai hubungan antara keduanya. Secara umum terdapat 3 perspektif mengenai pembentukan Undang-undang yang dapat dipakai untuk menjelaskan antara hubungan hukum (undang-undang) dengan masyarakat, yaitu model Konsesus, Pluralis, dan Konflik. Masing-masing model tersebut telah mencerminkan perbedaan pandangan mengenai asal pembuatan aturan dan nilai-nila dasar kehidupan sosial. Penerapan Undang-undang dipandang sebagai pembenaran hukum yang mencerminkan keinginan kolektif.
Apabila model Konsesus menganggap adanya persetujuan umum atas kepentingan dari nilai-nilai dasar manusia, sebaiknya model Pluralis menyadari adanya keanekaragaman kelompok-kelompok sosial yang mempunyai perbedaan dan persaingan atas kepentingan dan nilai-nilai. Menyadari kebutuhan akan adanya mekanisme penyelesaian konflik, orang-orang sepakat terhadap struktur hukum yang dapat menyelesaikan konflik-konflik tersebut tanpa membahayakan kesejahteraan masyarakat. Menurut perspektif tersebut konflik dapat timbul karena adanya ketidaksetujuan dalam substansinya, akan tetapi mereka setuju mengenal asal dan bekerjanya hukum. Sebagai model untuk mempelajari hukum dan masyarakat, perspektif konflik menekankan pada adanya paksaan dan tekanan yang berasal dari sistem hukum. Sistem Hukum tidak dipandang sebagai alat yang netral untuk menyelesaikan perselisihan, tetapi sebagai mekanisme yang diciptakanoleh kelompok politisi yang paling berkuasa untuk melindungi dan mencapai kepentingan-kepentingannya sendiri.
Hukum bukan saja untuk melayani pencapaian kepentingan-kepentingan tertentu bagi kelompok yang memiliki kekuasaan, akan tetapi Hukum juga melayani kepentingan mereka untuk mempertahankan kekuasaannya.
Jumat, 01 Februari 2013
SEJARAH PERKEMBANGAN PENGERTIAN KEJAHATAN
Konsep perjanjian seperti itu juga terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama "eye for eye".
Kemudian konsep ini berkembang untuk perbuatan-perbuatan yang ditujukan kepada raja, seperti pengkhianatan, sedangkan perbuatan-perbuatan yang ditujukan kepada individu masih menjadi urusan pribadimasing-masing. Seiring berjalannya waktu, maka kejahatan kemudian menjadi urusan raja (sekarang negara), yaitu dengan mulai berkembangnya dengan apa yang disebut Parent Parties, Konsekuensi selanjutnya dengan dioper tugas ini oleh negara, maka apa yang sering kita disebut sebagai "main hakim sendiri" pun dilarang.
Pada Abad 18 munculah para penulis yang kemudian disebut sebagai Mazhab Classic, sebagai reaksi atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan serta kesewenang-wenangan penguasa pada waktu ancient regime. Mazhab Classic ini mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar Undang-undang. Ajaran yang terpenting adalah doktrin "nullum crimen sine lege" yang artinya yaitu tidak ada kejahatan apabila Undang-undang tidak menyatakan perbuatan itu sebagai perbuatan yang dilarang. Takut terhadap timbulnya ketidakpastian dan timbulnya kesewenang-wenangan dari penguasa (hakim), maka mazhab ini berpendapat, hakim hanyalah sebagai mulut/corong Undang-undang saja (legisme). Lama kelamaan timbul ketidakpuasan terhadap ajaran mahzab ini, dan pada akhir abad 18 munculnya pandangan baru yang lebih menitikberatkan pada pelakunya dalam studi terhadap kejahatan. Mahzab ini muncul ini muncul diantara para penstudi kejahatan di Italia yang kemudian disebut sebagai Mazhab Positif. Mazhab ini dipelopori oleh C.Lambroso seorang ahli ilmu kedokteran kehakiman. Aliran ini berusaha untuk mengatasi relativitas dari hukum pidana dengan mengajukan konsep kejahatan yang non-hukum, serta mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar hukum alam (natural law).
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep kejahatan yang non-hukum tersebut banyak menguasai para sarjana kriminologi di Amerika, terutama sampai pertengahan abad ke-20. Beberapa kritik yang diajukan terhadap mazhab tersebut antara lain oleh Ray Jeffery yang meyatakan bahwa dalam mempelajari kejahatan harus dipelajari dalam kerangka hukum pidana, sebab dari hukum pidana kita dapat mengetahui dengan pasti, mengetahui kondisi yang bagaimanakah suatu tingkah laku yang dikatakan dipandang sebagai kejahatan dan bagaimana peraturan Perundang-undangan berinteraksi dengan sistem norma yang lain. George C. Vold mengatakan dalam mempelajari kejahatan terdapat persoalan rangkap, artinya kejahatan selalu menunjuk kepada perbuatan manusia dan juga batasan-batasan atau pandangan ,masyarakat tentang apa yang baik dan apa yang tidak buruk, tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang, yang semuannya itu terdapat dalam Undang-undang, kebiasaan (custom) dan adat istiadat.
E.Durkheim, seorang pakar sosiologi menyatakan kejahatan bukan saja normal, dalam arti tidak ada masyarakat tanpa kejahatan, bahkan beliau menambahkan kejahatan merupakan sesuatu yang diperlukan, sebab ciri masyarakat adalah dinamis, dan perbuatan yang menggerakan masyarakat tersebut pada mulanya seringkali disebut sebagai kejahatan, misalnya dengan dijatuhkannya hukuman mati terhadap Socrates dan Galileo-galilea atas buah pikirnya.
Perlu ditegaskan bahwa kejahatan bukanlah fenomena alamiah, melainkan fenomena sosial dan historis, sebab tindakan menjadi kejahatan haruslah dikenal, diberi cap dan ditanggapi sebagai kejahatan, disana harus ada masyarakat yang norma aturannya dan hukumnya dilanggar, disamping adanya lembaga yang tugasnya menegakkan norma-norma dan menghukum pelanggarnya.
HUKUM WARIS INDONESIA
Hukum waris di indonesia masih bersifat pluralistis, karena saat ini berlaku 3 sistem hukum kewarisan, yaitu Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Hukum Waris adat meliputi keseluruhan asas, norma, dan keputusan/ketetapan hukum yang bertalian dengan proses penerusan serta pengendalian harta benda (materiil) dan harta cinta (non-materiil) dari generasi yang satu kepada generasi berikutnya.
Hukum Waris adat yang berlaku di indonesia sangat beraneka ragam bentuknya, itu semua tergantung kepada daerahnya masing-masing. Dalam kewarisan adat ini ada yang bersifat Patrilineal, Matrilineal, maupun Bilateral.
Hal ini menunjukan adanya perbedaan-perbedaan daerah hukum adat yang satu dengan adat yang lainnya, yang berkaitan dengan sistem kekeluargaan dengan jenis serta status harta yang akan diwariskan.
Hukum Waris Islam dirumuskan sebagai " perangkat ketentuan hukum yang mengatur pembagian harta kekayaan yang dimiliki seseorang pada waktu ia meninggal dunia".
Sumber pokok Hukum Waris Islam adalah Al-Qur'an dan Hadits Nabi, kemudian Qias (analogon) dan Ijma.
Hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook) adalah hukum waris berupa perangkat ketentuan hukum yang mengatur akibat-akibat hukum, umumnya di bidang hukum harta kekayaan, yaitu karena kematian seseorang, yang disebut pengalihan harta yang ditinggalkan beserta akibat-akibat pengasingan tersebut bagi para penerimanya, baik dalam hubungan antarmereka maupun hubungan antarmereka dengan pihak ketiga.
R.Subekti beranggapan seperti halnya dengan hukum perkawinan, begiti pula Hukum Waris di Indonesia masih beraneka ragam. Disamping Hukum Waris menurut Adat, berlaku Hukm Waris menurut Agama dan Hukum Waris menurut KUHPerdata (Burgerlijk Wetbook).
Hukum Waris di Indonesia berbeda-beda, antara lain :
1. Adanya Hukum Waris Islam yang berlaku untuk segolongan penduduk Indonesia.
2. Adanya Hukum Waris menurut Hukum Perdata Barat yang berlaku untuk golongan penduduk yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat.
3. Adanya Hukum Adat yang disana-sini berbea-beda, tergantung kepada daerahnya masinh-masing, yang berlaku kepada orang-orang yang tunduk kepada Hukum Adat.
ARTI KRIMINOLOGI DALAM HUKUM PIDANA
Terhadap kriminalisasi, H.Mannheim memberikan pandangannya bahwa terdapat dalam berbagi bentuk perbuatan anti-sosial yang tidak dijadikan tindak pidana, dan banyak pula diantaranya yang seharusnya tidak boleh dijadikan tindak pidana karena 3 alasan, yaitu :
1. Efesiensi dalam menjalankan Undang-undang pidana banyak tergantung pada adanya dukungan dari masyarakat luas, sehingga harus diselidiki apakah tentang kelakuan yang bersangkutan itu ada sikap yang sama dari masyarakat lainnya.
2. Sekalipun dalam kelakuannya itu ada sikap yang sama dari masyarakat lainnya, harus diselidiki pula apakah tingkah laku yang bersangkutan merupakan tingkah laku yang penindakannya secara teknis sangat sulit atau tidak, sebab jika hal itu terjadi akan menimbulkan manipulasi dalam pelaksanaanya.
3. Perlu diingat pula apakah tingkah laku yang bersangkutan sebenarnya itu merupakan sesuatu yang tidak sesuai untuk dijadikan objek hukum pidana, itu artinya bahwa apakah nantinya tidak terlalu banyak mencampuri kehidupan pribadi atau individu.
Dalam bidang Kriminologi, kriminologi khususnya sebagai pengaruh kritis yang mengarahkan studinya pada proses-proses (kriminalisasi), baik proses pembuatan maupun proses bekerjanya Undang-undang, hal itu berari bahwa Kriminologi memberikan sumbangan yang besar dibidang sistem peradilan, khususnya berupa penelitian tentang penegakan hukum, semua itu akan dapat digunakan untuk memperbaiki bekerjanya aparat penegak hukum, seperti halnya untuk memberikan perhatian terhadap hak-hak terdakwa maupun terhadap hak-hak korban kejahatan, organisasi (birokrasi) penegakan hukum serta perbaikan terhadap Perundang-undangan itu sendiri.
PENGERTIAN KRIMINOLOGI DAN PENDEKATANNYA
Sedangkan menurut E.H Sutherland mengenai pandangannya dalam pengertian kriminologi, adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial, termasuk didalamnya terdapat proses pembuatan Undang-undang, pelanggaran terhadap Undang-undang dan reaksinya terhadap pelanggaran Undang-undang.
Para filosofi yunani kuno, seperti Aristoteles dan Plato sudah menjelaskan studi tentang kejahatan in pada zaman mereka, terutama usaha untuk menjelaskan sebab-sebab kejahatan. Walaupun secara histori sudi tentang kejahatan dalam ranah kriminologi baru lahir pada abad ke-19, yaitu dengan ditandai lahirnya statistik kriminal di perancis pada tahun 1826 atau dengan ditebitkannya buku L'uomo Deliguente pada tahun 1876 oleh Cesare Lombroso.
Secara umum, tujuan dari Kriminologi itu yakni untuk mempelajari kejahatan dari berbagai aspek, sehinga pemahaman mengenai fenomena kejahatan bisa diperoleh dengan baik. Berkembangnya Kriminologi dan semakin maraknya pemikiran-pemikiran kritis yang mempelajari proses pembuatan Undang-undang, untuk itu sangatlah penting bagi mahasiswa Fakultas Hukum untuk mempelajari Kriminologi, agar dapat memperoleh pemahaman yang baik tentang fenomena kejahatan dan juga masalah hukum pada umumnya.
Pada konferensi mengenai kejahatan dan tindakan terhadap Delinkuen yang telah diselenggarakan oleh International Non Govemmental Organization atas bantuan/peran serta dari PBB di Jenewa pada tangal 17 Desember 1952, yang memutuskan agar mata kuliah Kriminologi direkomendasikan pada universitas yang lulusannya akan berkecimpung di bidang Hukum.
Aliran Pemikiran dalam kriminologi adalah cara pandang (paradigma) yang digunakan oleh para pakar kriminolog dalam melihat, mananggapi, manafsirkan dan menjelaskan mengenai fenomena kejahatan.
Dalam sejarah Intelektual, terhadap masalah penjelasan secara umum dapat dibedakan menjadi 2 cara pendekatan yang mendasar yaitu, pendekatan Spiritistik (demonologik), dan pendekatan Naturalistik, kedua pendekatan tersebut merupakan pendekatan pada masa kuno maupun pada masa moderen.
Pendekatan Spiritistik berdasar pada adanya kekuasaan lain/spirit (roh). Unsur utama yang terdapat dalam pendekatan Spiritistik ini adalah sifatnya yang melalui dunia empirik (tidak terikat oleh batasan-batasan kebendaan/fisik, dan beroperasi dalam cara-cara yang bukan menjadi subjek dari kontrol atau pengetahuan manusia yang terbatas).
Sedangkan pendekatan Naturalistik sendiri, yaitu penjelasan yang diberikan didalamnya lebih terperinci dan bersifat khusus, serta melihat dari segi objek dan kejadian-kejadian dunia dalam lingkuo kebendaan dan fisik.
Apabila penjelasan Spiritistik menjelaskan dasar dunia lain untuk menjelaskan apa yang terjadi, maka penjelasan Naturalistik sendiri menggunakan ide-ide dan penafsiran terhadap kejadian-kejadin dan objek-objek, serta hubungannya berhubungan dengan dunia yang ada (dunia nyata).
Pendekatan Naturalistik dibedakan dalam 3 bentuk sistem pemikiran dan paradigma, yaitu :
1. Kriminologi Classic
Kriminologi classic berdasarkan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia, dan serta menjadi dasar penjelasan prilaku manusia, baik yang bersifat perorangan maupun bersifat kelompok.
Kunci kemajuan dalam kriminologi classic adalah kemampuan kecerdasan atau akal yang dapat ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan, sehingga manusia dapat mampu mengontrol dirinya sendiri, baik itu dilingkungan masyarakat maupun terhadap diri sendiri.
Kejahatan diartikan sebagai perbuatan/pelanggaran yang bertentangan dengan Undang-undang pidana, serta Penjahat adalah sebutan bagi seseorang yang melakukan perbuatan kejahatan tersebut.
Dalam hal tersebut, tugas dari kriminologi adalah membuat pola dan menguji sistem hukuman yang dapat meminimalkan terjadinya tindakan kejahatan. dan dalam literatur yang terdapat dalam kriminologi, pemikiran classic (neo classic) maupun positif merupakan ide-ide yang penting dalam usaha untuk memahami dan mencoba berbuat sesuatu terhadap kejahatan.
Cessare Beccaria (1738-1794).
2. Kriminologi Positif
Kriminologi Positif bertolak pada pandangan bahwa prilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik yang berupa faktor cultural (budaya), maupun faktor biologis.
Hal ini berarti, manusia bukanlah makhluk yang bebas untuk menuruti dorongan keinginan dan intelegensinya, akan tetapi berarti makhluk yang dibatasi/ditentukan oleh perangkat situasi cultural maupun biologisnya. Manusia berkembang bukan semata-mata hanya karena intelegensinya saja, akan tetapi melalui proses yang berjalan perlahan-lahan dari aspek evolusi cultural dan juga aspek biologisnya.
Dalam bidang Kriminologi aliran positif dapat dipandang sebagai yang pertama kali memformulasikan dan menggunakan metodologi, cara pandang, dan logika dari ilmu pengetahuan alam di dalam mempelajari perbuatan/tingkah laku manusia.
Dasar yanbg sesungguhnya dari positivisme dalam kriminologi adalah konsep tentang sebab kejahatan yang banyak (multiple factor causation), yaitu adalah faktor-faktor yang alami atau bisa disebut faktor yang dibawa oleh manusia dan dunianya, yang sebagian besar bersifat karena faktor pengaruh lingkungan maupun karena faktor biologisnya.
3. Kriminologi Kritis
Kriminologi Kritis adalah pemikiran kritis, atau yang lebih dikenal dalam berbagai disiplin ilmu, seperti dalam bidang ekonomi, politik, filsafat dan sosiologi. Kriminologi kritis muncul pada dasaarsa terakhir ini.
Aliran pemikiran kritis tidak berusaha menjawab pertanyaan "apakah perilaku manusia itu bebas atau ditentukan", akan tetapi lebih mengarah pada "mempelajari proses-proses manusia dalam membangun dunianya dimana dia hidup".
Dalam kriminologi kritis, misalnya berpendapat bahwa fenomena kejahatan sebagai konstruksi sosial, yang mana artinya apabila masyarakat mendefinisikan tindakan tertentu sebagai kejahatan, maka orang-orang tertentu akan tindakan-tindakan yang terjadi, yang mungkin pada waktu tertentu memenuhi batasan sebagai kejahatan.
Kriminologi Kritis mempelajari proses-proses dimana kumpulan tertentu dari orang-orang dan tindakan-tindakan ditunjuk sebagai kriminal pada waktu dan tempat tertentu.
Kriminologi Kritis bukan hanya sekedar mempelajari prilaku dari orang-orang yang didefinisikan sebagai kejahatan, akan tetapi juga prilaku dari agen-agen penegak hukum (control social).