Twitter

Tuesday 6 September 2016

PENGERTIAN ASAS DISKRESI

Sebelum masuk dalam definisi Asas Diskresi ada baiknya kita sedikit menyinggung hal yang bisa dikatakan lahirnya Asas Diskresi ini, yaitu Asas Legalitas. Asas Legalitas termasuk asas yang boleh dikatakan sebagai tiang penyangga hukum, Asas ini tersirat dalam Pasal 1 KUHP: 
  1. Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
  2. Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Aturan dalam Asas Legalitas tersusun secara sistematis dalam suatu perundang-undangan, telah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Jadi Asas Legalitas itu adalah hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Sekarang mari kita membahas apa itu Asas Diskresi.
Thomas J. Aron mengemukakan pengertian diskresi sebagai kekuasaan atau kewenangan yang diberikan oleh hukum atau undang-undang kepada pejabat publik untuk mengambil suatu tindakan berdasarkan penilaian sendiri. Asas Diskresi atau yang disebut dengan freis ermessen ini dapat dipandang sebagai asas yang bertujuan untuk mengisi kekurangan atau melengkapi asas legalitas, karena asas freis ermessen memberikan keleluasaan bertindak kepada pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya tanpa terikat kepada undang-undang. Ridwan H.R mengemukakan dalam bukunya bahwa freis ermessen ini muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas legalitas.

Kewenangan pejabat administrasi negara dalam mengambil suatu tindakan yang dianggap pantas atau patut sesuai dengan keadaan faktual yang sedang dihadapi oleh pejabat administrasi negara yang bersangkutan. penilaian tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa tindakan itu dianggap pantas untuk dilakukan oleh pejabat administrasi negara yang bersangkutan. kepantasan atau kepatutan tersebut bisa saja dilandaskan kepada pertimbangan bahwa jika suatu tindakan tidak dilakukan maka kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian atau kerusakan yang lebih besar. Artinya pejabat administrasi negara tidak boleh melakukan tindakan tanpa pertimbangan-pertimbangan atau dasar pemikiran tertentu, dan pejabat administrasi negara harus selalu ada batasan dan alasannya dalam bertindak.Sejalan dengan pemikiran tersebut, Hans J. Wolf mengemukakan bahwa freis ermessen tidak boleh diartikan secara berlebihan seakan-akan badan atau pejabat administrasi negara boleh bertindak dengan sewenang-wenang atau tanpa dasar dan dengan dasar-dasar yang tidak jelas ataupun dengan pertimbangan subjektif-individual. Hal itu berarti asas diskresi tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, melainkan terikat kepada persyaratan yang bersifat kondisional.

Menurut Ridawan H.R ada tiga keadaan kondisional yang menjadikan pemerintah dapat melakukan tindakan diskresif, yaitu:
  1. Belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian in concreto terhadap suatu masalah, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian yang segera.
  2. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar tindakan aparat pemerintah telah memberikan kebebasan sepenuhnya.
  3. adanya delegasi peraturan perundang-undangan, yaitu pemberian kekuasaan untuk mengatur sendiri kepada pemerintah yang sebenarnya kekuasaan itu dimiliki oleh aparat yang lebih tinggi tingkatannya.
Dalam kondisi diatas yang pertama mengandung arti sebagai suatu tindakan pemerintah yang dilakukan atas inisiatif sendiri akibat terjadi kekosongan hukum (undang-undang). dalam kondisi tersebut kekosongan hukum tersebut harus diisi oleh pemerintah dengan menetapkan sendiri hukium yang berlaku terhadap kasus yang bersangkutan. Dalam kondisi yang kedua, diskresi merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah atas inisiatif sendiri untuk menjalankan suatu undang-undang karena undang-undang itu sendiri tidak mengatur cara untuk menjalankannya secara khusus.Dalam kondisi ketiga, diskresi merupakan tindakan pemerintah yang dilakukan atas inisiatif sendiri karena aparat pemerintah diberikan kekuasaan untuk mengatur sendiri suatu hal tertentu, meskipun kewenangan untuk mengatur hal tersebut sebenarnya dimiliki oleh aparat yang lebih tinggi tingkatannya.

Sjachran Basah mengemukakan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam tindakan diskresi, yaitu:
  1. Ditujukan untuk menjalankan tugas servis publik.
  2. merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara.
  3. Diambil atas inisiatif sendiri, dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba.
  4. Dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum.
Saut Panjaitan mengemukakan bentuk-bentuk tindakan pemerintah, yaitu:
  1. Membentuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undangyang dari sisi materil mengikat secara umum.
  2. Mengeluarkan beschikkingyang bersifat konkret, final, dan individual.
  3. Melakukan tindakan administrasi negara yang nyata dan aktif.
  4. Menjalankan fungsi peradilan, terutama dalam keberatan dan banding administrasi.
Kesimpulan secara garis besar mengenai asas diskresi sebagai suatu tindakan pemerintah yang diambil secara inisiatif sendiri sesungguhnya bukan merupakan tindakan yang sewenang-wenang. Diskresi itu bukan merupakan tindakan pejabat administrasi negara yang bebas secara mutlak tanpa ada batasan-batasannya karena mengenai hal atau keadaan yang memerlukan tindakan diskresi semata-mata bergantung kepada kehendak pejabat administrasi negara, namun dibatasi oleh keadaan faktual, situasi, motivasi, maksud dan tujuan serta pertanggungjawaban moral tindakan diskresi tersebut.
Read more ...
Sunday 15 June 2014

PENAFSIFRAN HUKUM YANG PROGRESIF

Sejak hukum membuat tradisi untuk dituliskan (written law), maka pembacaan terhadap teks hukum menjadi masalah yang penting. Sejak pembacaan terhadap teks menjadi penting, maka penafsiran terhadap teks hukum tak dapat dihindarkan. Bahkan tidak berlebih apabila dikatakan, penafsiran hukum merupakan jantung hukum, Hampir tidak mungkin hukum bisa dijalankan tanpa membuka pintu bagi penafsiran. Penafsiran hukum merupakan aktifitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan, sejak hukum berbentuk tertulis. Diajukan sebuah adagium "membaca hukum adalah menafsirkan hukum".

Tuntutan terhadap hukum modern, seperti dikatakan oleh Unger, yaitu untuk menjadi positif dan publik, melahirkan tradisi hukum yang dituliskan atau tertulis. Tentunya cukup susah dibayangkan, bagaimana hukum bisa menjadi bersifat publik kalau hukum tidak bisa ditentukan secara konkret terlebih dahulu. Agar hukum bisa diumumkan kepada rakyat, maka hukum itu harus ada terlebih dahulu. Dalam tradisi modern sekarang, umumnya hukum memang dituliskan dan kemudian diumumkan kepada publik, supaya bisa dibaca oleh rakyat dan rakyat mengetahui apa yang menjadi hukum dalam masyarakat.

Sebagai contoh yaitu pasal Undang-Undang tentang lembaga "peninjauan kembali". Dalam pasal bersangkutan ditulis, PK hanya boleh diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Dalam bab penjelasan ditulis, ketentuan tersebut bersifat limitatif. Tetapi dalam sejarah Indonesia, jaksa pernah mengajukan PK dan diterima oleh pengadilan. Artinya, jaksa (dan pengadilan) telah memberi makna sendiri terhadap ketentuan tersebut. Buktinya, pengacara T. Mulya Lubis berpendapat, diterimanya PK yang diajukan oleh jaksa, telah terjadi tragedi dalam hukum di Indonesia. Hal tersebut berarti, lubis telah memberi makna yang berbeda terhadap PK dibanding kejaksaan dan pengadilan. Disini kita lihat beberapa pasal yang sama telah diberi makna yang berbeda-beda.

Penafsiran merupakan fungsi dari hukum tertulis yang membuat rumusan-rumusan. Pembuatan dan penafsiran merupakan dua sisi dari barang yang sama, yaitu "hukum". Teks hukum tidak lain adalah suatu bentuk rumusan, suatu konseptulisasi dari sesuatu yang ada dan terjadi di alam. Pencurian adalah suatu kejadian dalam alam yang kemudian dirumuskan dalam teks hukum. Setiap perumusan adalah penegasan atau pencitraan tentang suatu hal. Adanya rumusan tertulis oleh hukum tentang pencurian, maka orang menjadi tahu perbuatan mana yang bukan pencurian. Merumuskan dan membuat konsep adalah pekerjaan manusia yang sampai sekarang belum dapat diserahkan kepada mesin.

Mutatis Mutandis, apa yang dikatakan oleh Stamford mengenai sistem hukum, dapat juga diterapkan pada waktu membahas cacat perumusan hukum. Berdasarkan cara berpikir seperti itu maka perdebatan pun ditutup sudah, semata-mata "apa yang tidak benar" itu menjadi "dianggap benar", Legitimasi seperti tersebut memang diperlukan agar hukum segera bisa dijalankan, jadi suati alasan pragmatis.

Dilema antara "kepastian" dan "kemerdekaan" juga melatar belakangi wacana penafsiran. Kendati menerima penafsiran, aliran yang mengunggulkan kepastian mengkhendaki agar lingkaran peraturan itu tidak diterobos keluar. Metode-metode penafsiran yang kemudian diciptakan, sepeti tata bahasa, sejarah dan sistematis, tetap harus berlangsung dalam batas lingkaran peraturan. Aliran tersebut menerima konsekuensi disebut mengabadikan ketidakadilan apabila suatu peraturan dinilai tidak adil. Maka demi kepastian hukum, kepastian dari ketidakadilan atau kepastian yang tidak adil pun diterima sebagai resiko atau ongkos yang harus dibayar. Disisi lain, kemerdekaan tidak bisa menerima peraturan yang dirasa tidak adil dan karena itu memilih melakukan pembebasan dan keluar dari lingkaran peraturan yang ada. Inilah esensi dari aliran realisme.

Penafsiran Progresif mencakup semua aspek sebagaimana diuraikan diatas. Penafsiran adalah pemberian makna terhadap teks peraturan dan karena itu tidak boleh berhenti pada pembacaan harafiah saja. Dengan cara seperti tersebut hukum menjadi Progresif karena bisa melayani masyarakatnya. Melayani masyarakat berarti melayani kehidupan masa kini dan oleh sebab itu Progresif.

Penafsiran Progresif memahami proses hukum sebagai proses pembebasan terhadap suatu konsep yang kuno yang tidak dapat lagi dipakai untuk melayani kehidupan masa kini.

Mengapa menggagas penafsiran hukum yang progrsif ?
Salah satu ikhwal penting adalah pergulatan antara pikiran antara analitis dan realis atau sosiologis seperti diwakili oleh analytical jurisprudence dan legal realism. Yang pertama selalu melihat kedalam bingkai peraturan dan tidak keluar dari lingkaran tersebut. Berdasarkan pikiran hukum tersebut, maka penafsiran hukum menjadi hal yang ditabukan. Tidak ada dan tidak boleh ada penfsiran, yang ada ialah penerapan hukum, undang-undang. Penafsiran ada di tangan legislatif, oleh karena dalam pembuatan hukum sudah termasuk penafsirannya. Kepastian sangat diunggulkan, bahkan sampai titik mutlak dan kepastian diperoleh dengan membaca undang-undang.

Di pihak lain, pikiran realis, sosiologis bebas berpendapat, hukum merupakan kerangka yang abstrak, sedang setiap perkara yang dihadapkan kepadanya adalah unik. Kalau berpegangan pada kata undang-undang, maka sifat unik dari perkara akan hilang dan dikesampingkan. Maka setiap pembuatan keputusan hukum adalah aktivitas yang kreatif, demi melayani keunikan tersebut.

Hukum Progresif dan penafsiran progresif berpegangan pada paradigma "hukum untuk manusia", sedang analitical jurisprudence mengikuti paradigma "manusia untuk hukum". Manusia merupakan simbol bagi bagi kenyataan dan dinamika kehidupan. Hukum memandu dan melayani masyarakat. Dengan demikian, diperlukan keseimbangan antara "statika dan dinamika" antara "peraturan" dan :jalan yang terbuka".

Hukum, pengadilan, tidak dipersepsikan sebagai mesin dan robot, tetapi sebagai lembaga yang kreatif memandu dan melayani masyarakat. Tugas tersebut dapat dilaksanakan apabila hukum diberi kebebasan untuk memberi penafsiran. Menafsirkan adalah bagian dari tugas memandu dan melayani tersebut.

Hukum Progresif berbagi pendapat dengan pikiran-pikiran yang pernah ada dalam sejarah hukum, seperti historis (Savigny), realis (Amerika, Eropa), sosiologis (Pound, Ehrlich, Black), responsif (Nonet dan Selznick).

Semua alam pikiran hukum tersebut pada dasarnya menerima penafsiran hukum sebagai jembatan antara undang-undang yang statis, kaku, dan masa kini maupun masa depan. Hukum akan dicari dan dipercaya masyarakat, apabila hukum mampu menjalankan tugas memandu dan melayani masyarakatnya. Unutuk itu, hukum tidak dapat bergayut ke belakang melainkan ke masa kini dan masa depan. Itulah hakikat hukum Progresif dan penafsiran hukum yang Progresif.
Read more ...
Saturday 14 June 2014

PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG HUKUM PROGRESIF

Hukum Progresif dimulai dari suatu asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum Progresif menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek, dan menolak berbagai paham atau aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interressenjurisprudenz di Jerman, teori hukum alam dan critical legal studies. Hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal. Hukum Progresif menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan.

Tujuan dari hukum Progresif adalah untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.

Secara lebih spesifik hukum Progresif antara lain bisa disebut sebagai "hukum yang pro-rakyat" dan "hukum yang pro-keadilan". Pernyataan dan pemastian tersebut berlanjut sampai kepada penentuan tentang teorisasinya serta bagaimana hukum akan bekerja dan dijalankan.

Gagasan hukum Progresif muncul karena kepribadian terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat, termasuk pengamat internasional sudah mengutarakannya dalam berbagai ungkapan yang negatif, seperti sistem hukum di Indonesia termasuk yang terburuk di dunia. Rakyat pun berpendapat demikian, namun mereka tidak mengutarakannya sebagai suatu tuturan yang jelas, melainkan melalui pengalaman konkret mereka dengan hukum sehari-hari, seperti halnya kelemahan mereka berhadapan dengan hukum dan keunggulan orang kuat yang cenderung lolos dari hukum.

Kepercayaan kepada hukum makin menurun yang disebabkan oleh kinerja buruk hukum itu sendiri. Sejak tahun 70-an istilah "mafia pengadilan" sudah memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Pada masa Orde Baru hukum sudah makin bergeser menjadi alat politik untuk mempertahankan kekuasan waktu itu. Dengan demikian, hukum bukan lagi "law as a tool of social engineering" secara positif terjadi, namun melainkan "dark engineering"


Masuk ke Era Reformasi sejak tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998, bangsa Indonesia belum berhasil mengangkat hukum sampai kepada taraf mendekati keadaan ideal, tetapi justru malah makin menimbulkan kekecewaan, khususnya yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi.
Read more ...
Sunday 23 February 2014

MACAM DAN JENIS KUTIPAN DALAM KARYA ILMIAH (KARIL)

Macam -Macam Kutipan


  • Kutipan Langsung
Kutipan langsung terdiri dari kutipan langsung yang terdiri kurang dari 4 baris dan lebih dari 4 baris.
Ciri-ciri kutipan langsung yang kurang dari 4 baris, yaitu :
- Kutipannya langsung terintergrasi di dalam teks
- Jarak antara baris satu dengan baris lainnya adalah 2 spasi
- Kutipannya di apit oleh tanda kutip
- Sebelum buka kurung menggunakan nama singkat, nama depan. Setelah tutup kurung menggunakan tahun terbit, titik dua, dan nomer halaman.

Ciri-ciri kutipan langsung yang lebih dari 4 baris, yaitu :
- Kutipannya tidak terdapat di dalam teks (tidak terintregrasi dalam teks), yaitu dengan jarak dibawahnya 2,5 spasi.
- Jarak antara baris satu dengan baris lainnya 1 spasi
- Tidak memggunakan tanda kutip
- Sebelum buka kurung menggunakan nama singkat, nama belakang. Setelah tutup kurung menggunakan tahun terbit, titik dua, dan nomer halaman.


  • Kutipan Tidak Langsung
Yaitu suatu kutipan yang dikemukakan dengan bahasa penulis sendiri.
Ciri-cirinya :
- Kutipannya langsung terintregrasi di dalam teks
- Jarak antara baris satu dengan baris lainnya adalah 2 spasi
- Tidak menggunakan tanda kutip
- Sebelum buka kurung menggunakan nama pengarang. Setelah tutup kurung menggunakan tahun terbit, titik dua, dan nomer halaman.


Dalam mengutip suatu kutipan dalam karya ilmiah, dikenal 3 istilah yaitu :


  • Ibid
Yaitu suatu kutipan yang di dapat dari sumber dan halaman yang sama, dan belum diselingi oleh sumber yang lainnya.


  • Lokcit (loco citatos)
Yaitu suatu kutipan yang di dapat dari tempat dan halaman yang sama, namun telah diselingi oleh sumber lain.


  • Opcit (opera citatos)
Yaitu suatu kutipan yang telah dikutip terlebih dahulu, artinya bahwa kutipan yang pernah di kutip di halaman sebelumnya, di kutip lagi oleh penulis.


Itulah beberapa macam dan jenis kutipan yang ada dalam Penulisan Karya Ilmiah.
Thanks for read.
Read more ...
Saturday 2 February 2013

KEJAHATAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN NORMA-NORMA

Hubungan kejahatan dengan Hukum (undang-undang)
Bagaimanapun juga kejahatan dalam arti hukum adalah yaitu perbuatan manusia yang dapat dipidana oleh hukum pidana. Tetapi kejahatan bukan semata-mata merupakan batasan Undang-undang, artinya ada perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat dipandang sebagai jahat, tetapi oleh Undang-undang tidak menyaakan sebagai kejahatan (tidak dinyatakan sebagai tidak pidana), dan begitu pula sebaliknya.
Dalam hukum pidana orang seringkali membedakan antara Delik hukum (rechtsdelicten atau mala per se), khususnya tindak pidana yang disebut "kejahatan" (buku ke II KUHP) dan Delik Undang-undang (wetsdelicten tau mala probibita) yang berupa "pelanggaran" (buku ke III KUHP) mengenai perbedaan antara mala per se dengan mala probibita dewasa ini banyak dipertanyakan orang, yaitu apakah semua tindak pidana itu sebenarnya adalah merupakan mala probibita, artinya perbuatan-perbuatan tertentu merupakan kejahatan, oleh karena perbuatan tersebut oleh Undang-undang ditunjuk atau dijadikan kejahatan (tindak pidana).
Oleh karena mengenai pandangan orang mengenai hubungan antara Undang-undang dengan organisasi sosial mempunyai pengaruh yang penting dlam penyelidikan kriminologi selanjutnya, maka perlu diketahui pandangan-pandangan yang ada mengenai hubungan antara keduanya. Secara umum terdapat 3 perspektif mengenai pembentukan Undang-undang yang dapat dipakai untuk menjelaskan antara hubungan hukum (undang-undang) dengan masyarakat, yaitu model Konsesus, Pluralis, dan Konflik. Masing-masing model tersebut telah mencerminkan perbedaan pandangan mengenai asal pembuatan aturan dan nilai-nila dasar kehidupan sosial. Penerapan Undang-undang dipandang sebagai pembenaran hukum yang mencerminkan keinginan kolektif.
Apabila model Konsesus menganggap adanya persetujuan umum atas kepentingan dari nilai-nilai dasar manusia, sebaiknya model Pluralis menyadari adanya keanekaragaman kelompok-kelompok sosial yang mempunyai perbedaan dan persaingan atas kepentingan dan nilai-nilai. Menyadari kebutuhan akan adanya mekanisme penyelesaian konflik, orang-orang sepakat terhadap struktur hukum yang dapat menyelesaikan konflik-konflik tersebut tanpa membahayakan kesejahteraan masyarakat. Menurut perspektif tersebut konflik dapat timbul karena adanya ketidaksetujuan dalam substansinya, akan tetapi mereka setuju mengenal asal dan bekerjanya hukum. Sebagai model untuk mempelajari hukum dan masyarakat, perspektif konflik menekankan pada adanya paksaan dan tekanan yang berasal dari sistem hukum. Sistem Hukum tidak dipandang sebagai alat yang netral untuk menyelesaikan perselisihan, tetapi sebagai mekanisme yang diciptakanoleh kelompok politisi yang paling berkuasa untuk melindungi dan mencapai kepentingan-kepentingannya sendiri.
Hukum bukan saja untuk melayani pencapaian kepentingan-kepentingan tertentu bagi kelompok yang memiliki kekuasaan, akan tetapi Hukum juga melayani kepentingan mereka untuk mempertahankan kekuasaannya.
Read more ...
Friday 1 February 2013

SEJARAH PERKEMBANGAN PENGERTIAN KEJAHATAN

Menurut asalnya, tidak ada pembatasan secara resmi dan juga tidak ada campur tangan dari penguasa terhadap kejahatan, melainkan kejahatan semata-mata dipandang sebagai persoalan pribadi  atau persoalan keluarga. Individu yang merasa dirinya menjadi korban perbuatan orang lain, akan mencari balasan terhadap pelaku atau keluarganya. Konsep peradilan ini dapat kita temui pada Perundang-undangan lama, seperti Code Hammurabi (1900 SM), Perundang-undangan Romawi Kuno (450 SM), dan pada Masyarakat Romawi Kuno, seperti contohnya "mencuri sapi bayar sapi".
Konsep perjanjian seperti itu juga terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama "eye for eye".

Kemudian konsep ini berkembang untuk perbuatan-perbuatan yang ditujukan kepada raja, seperti pengkhianatan, sedangkan perbuatan-perbuatan yang ditujukan kepada individu masih menjadi urusan pribadimasing-masing. Seiring berjalannya waktu, maka kejahatan kemudian menjadi urusan raja (sekarang negara), yaitu dengan mulai berkembangnya dengan apa yang disebut Parent Parties, Konsekuensi selanjutnya dengan dioper tugas ini oleh negara, maka apa yang sering kita disebut sebagai "main hakim sendiri" pun dilarang.
Pada Abad 18 munculah para penulis yang kemudian disebut sebagai Mazhab Classic, sebagai reaksi atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan serta kesewenang-wenangan penguasa pada waktu ancient regime. Mazhab Classic ini mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar Undang-undang. Ajaran yang terpenting adalah doktrin "nullum crimen sine lege" yang artinya yaitu tidak ada kejahatan apabila Undang-undang tidak menyatakan perbuatan itu sebagai perbuatan yang dilarang. Takut terhadap timbulnya ketidakpastian dan timbulnya kesewenang-wenangan dari penguasa (hakim), maka mazhab ini berpendapat, hakim hanyalah sebagai mulut/corong Undang-undang saja (legisme). Lama kelamaan timbul ketidakpuasan terhadap ajaran mahzab ini, dan pada akhir abad 18 munculnya pandangan baru yang lebih menitikberatkan pada pelakunya dalam studi terhadap kejahatan. Mahzab ini muncul ini muncul diantara para penstudi kejahatan di Italia yang kemudian disebut sebagai Mazhab Positif. Mazhab ini dipelopori oleh C.Lambroso seorang ahli ilmu kedokteran kehakiman. Aliran ini berusaha untuk mengatasi relativitas dari hukum pidana dengan mengajukan konsep kejahatan yang non-hukum, serta mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar hukum alam (natural law).

Dalam perkembangan selanjutnya, konsep kejahatan yang non-hukum tersebut banyak menguasai para sarjana kriminologi di Amerika, terutama sampai pertengahan abad ke-20. Beberapa kritik yang diajukan terhadap mazhab tersebut antara lain oleh Ray Jeffery yang meyatakan bahwa dalam mempelajari kejahatan harus dipelajari dalam kerangka hukum pidana, sebab dari hukum pidana kita dapat mengetahui dengan pasti, mengetahui kondisi yang bagaimanakah suatu tingkah laku yang dikatakan dipandang sebagai kejahatan dan bagaimana peraturan Perundang-undangan berinteraksi dengan sistem norma yang lain. George C. Vold mengatakan dalam mempelajari kejahatan terdapat persoalan rangkap, artinya kejahatan selalu menunjuk kepada perbuatan manusia dan juga batasan-batasan atau pandangan ,masyarakat tentang apa yang baik dan apa yang tidak buruk, tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang, yang semuannya itu terdapat dalam Undang-undang, kebiasaan (custom) dan adat istiadat.

E.Durkheim, seorang pakar sosiologi menyatakan kejahatan bukan saja normal, dalam arti tidak ada masyarakat tanpa kejahatan, bahkan beliau menambahkan kejahatan merupakan sesuatu yang diperlukan, sebab ciri masyarakat adalah dinamis, dan perbuatan yang menggerakan masyarakat tersebut pada mulanya seringkali disebut sebagai kejahatan, misalnya dengan dijatuhkannya hukuman mati terhadap Socrates dan Galileo-galilea atas buah pikirnya.
Perlu ditegaskan bahwa kejahatan bukanlah fenomena alamiah, melainkan fenomena sosial dan historis, sebab tindakan menjadi kejahatan haruslah dikenal, diberi cap dan ditanggapi sebagai kejahatan, disana harus ada masyarakat yang norma aturannya dan hukumnya dilanggar, disamping adanya lembaga yang tugasnya menegakkan norma-norma dan menghukum pelanggarnya.
Read more ...

HUKUM WARIS INDONESIA

Hukum waris di indonesia masih bersifat pluralistis, karena saat ini berlaku 3 sistem hukum kewarisan, yaitu Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Hukum Waris adat meliputi keseluruhan asas, norma, dan keputusan/ketetapan hukum yang bertalian dengan proses penerusan serta pengendalian harta benda (materiil) dan harta cinta (non-materiil) dari generasi yang satu kepada generasi berikutnya.
Hukum Waris adat yang berlaku di indonesia sangat beraneka ragam bentuknya, itu semua tergantung kepada daerahnya masing-masing. Dalam kewarisan adat ini ada yang bersifat Patrilineal, Matrilineal, maupun Bilateral.
Hal ini menunjukan adanya perbedaan-perbedaan daerah hukum adat yang satu dengan adat yang lainnya, yang berkaitan dengan sistem kekeluargaan dengan jenis serta status harta yang akan diwariskan.

Hukum Waris Islam dirumuskan sebagai " perangkat ketentuan hukum yang mengatur pembagian harta kekayaan yang dimiliki seseorang pada waktu ia meninggal dunia".
Sumber pokok Hukum Waris Islam adalah Al-Qur'an dan Hadits Nabi, kemudian Qias (analogon) dan Ijma.

Hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook) adalah hukum waris berupa perangkat ketentuan hukum yang mengatur akibat-akibat hukum, umumnya di bidang hukum harta kekayaan, yaitu karena kematian seseorang, yang disebut pengalihan harta yang ditinggalkan beserta akibat-akibat pengasingan tersebut bagi para penerimanya, baik dalam hubungan antarmereka maupun hubungan antarmereka dengan pihak ketiga.

R.Subekti beranggapan seperti halnya dengan hukum perkawinan, begiti pula Hukum Waris di Indonesia masih beraneka ragam. Disamping Hukum Waris menurut Adat, berlaku Hukm Waris menurut Agama dan Hukum Waris menurut KUHPerdata (Burgerlijk Wetbook).

Hukum Waris di Indonesia berbeda-beda, antara lain :
1. Adanya Hukum Waris Islam yang berlaku untuk segolongan penduduk Indonesia.
2. Adanya Hukum Waris menurut Hukum Perdata Barat yang berlaku untuk golongan penduduk yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat.
3. Adanya Hukum Adat yang disana-sini berbea-beda, tergantung kepada daerahnya masinh-masing, yang berlaku kepada orang-orang yang tunduk kepada Hukum Adat.

Read more ...